Terminal Yang Hilang


Saat itu kulihat jam di Handphone menunjukkan jam sembilan malam lewat sepuluh menit. Ragu kucari nomer kontak Bu Mahmudah yang sering kupanggil dengan sebutan ‘ummi’, beliau mengatakan bahwa cita-citanya adalah naik haji dan dipanggil ‘ummi’ oleh anaknya. Kudapati nomernya, tapi aku masih ragu, ada rasa tidak enak untuk menghubunginya. Tapi tidak ada tempat lain yang dapat aku tuju, selain rumah wali kelasku itu.

“Halo? Subhan?” suara di handphone membuatku terhenyak. Ternyata tanganku lebih cepat dari pikiranku, lebih tepat memutuskan.
“Iya ummi, saya Subhan. Ummi belum tidur?” tanyaku sekedar basa basi menutupi maksudku yang sesungguhnya.

“oh tidak. Ada apa Han? Ada masalah? Datang ke rumah aja ya, Hp ummi habis batrainya. Ummi tunggu ya…. Tut… tut… tut…” panggilan terputus. Tapi aku cukup senang, tanpa perlu mengatakan bahwa aku kabur dari rumah setelah mengetahui Mama menikah dengan Om Fendy tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Tiba-tiba Mama sudah mengemas barang-barang di rumah untuk di bawa ke rumah baru yang akan ditempatinya dengan keluarga barunya. Aku merasa dikhianati dan kecewa dengan keputusan Mama yang tidak memberitahuku terlebih dahulu. Bahkan aku merasa tidak lagi dianggapnya anak.

Mengetahui ummi Mahmudah mengharapkan aku datang, segera kupacu motorku menuju rumahnya. Ummi memang bukan ibu kandungku, beliau hanya ibu wali kelasku di Madrasah Aliyah. Beliau menjadi terminalku ketika aku lelah berjalan di sepanjang perjalanan hidupku. Dari meninggalnya Ayah yang menjadi sosok idolaku, lalu aku mulai putus asa untuk bersekolah, lebih banyak main PS, sampai akhirnya aku tercancam tidak naik kelas, semua hanya ummi Mahmudah yang tahu, dan hanya ummi Mahmudah yang memahamiku sampai akhirnya aku mulai menerima kenyataan bahwa Ayah yang meninggal tidak akan hidup jika tidak kita hidupkan dalam ingatan. Melalui ummi Mahmudah aku belajar mengingat-ingat semua nasehat Ayah, dan ditulisnya sebagai pedomanku.

Kehidupanku kembali berjalan normal, sampai akhirnya aku bertemu dengan Nimas Anggraini. Gadis manis dengan hidung bangir, mata kecil namun terlihat merekah bersamaan dengan bulu mata lentiknya, bibirnya yang kecil berwana merah muda membuatku gila mengingat paduan wajah cantik dengan tubuh tinggi semampai. Terlebih Nimas termasuk anak unggulan yang sering diikutsertakan dalam lomba cerdas cermat, bahkan tak jarang Nimas pulang membawa tropi kemenangan. Nimas lebih banya menyita waktuku, meski hanya diangan. Tapi barang sedetikpun aku tak mampu melepaskan sosoknya dari pelupuk mataku. Aku jatuh cinta, jatuh sejatuh-jatuhnya. Bagaimana tidak sepanjang hari aku memikirkannya, dan setelah mengumpulkan keberanian, kunyatakan perasaanku dua hari yang lalu. Namun bukan pucuk dicinta wulanpun tiba, atau gayung bersambut kata berjawab, aku ditolaknya dengan mengatakan bahwa bukan akulah pria idamannya.

Pernyataan itu menguburku dalam-dalam di bawah rasa malu. Terpendam dengan rapi dan sesak, menangispun aku tak sanggup. Hanya terpuruk pada jurang yang teramat dalam yang disebut putus asa. Hidupku kembali berhenti, dan tak lain terminalku adalah ummi Mahmudah. Menghangatkanku yang kedinginan oleh sebuah penolakan, meluruskanku yang berbelok dari kenyataan dan menjadi misteri yang penuh luka, mengajakku kembali berjalan meski tertatih dan perlu ditatah dan dipapah.

Kulihat rumah sederhana dengan bangunan lama, temboknya yang berwana putih mulai usang termakan usia dan cuaca. Kuparkir motor di pekarangan kecilnya, dan mengetok pintu yang terbuat dari triplek, sehingga memperdengarkan bunyik tok-tok menggema dan berat. Di sebelah rumah ummi Mahmudah terdapat rumah yang serupa, bangunannya sama. Menurut cerita, dulu itu adalah rumah kakaknya, rumah warisan dari bapak-ibunya, seperti rumah yang ditinggalinya. Namun karena kakaknya membeli rumah yang lebih bagus dan pindah ke kawasan elit, rumah warisan itu dijual dan sekarang ditempati oleh penghuni baru. Dua kali ketukan dan sekali salam, ummi muncul dengan mengenakan daster dan jilbab bergo yang kulihat baru dipasangnya, sebab beliau membukakan pintu sembari membenahi letak jilbabnya.

“masuk Han. Sudah makan?”
“belum Mi.”
“ayo sekalian makan, ummi masak sayur lodeh kesukaanmu.” Ummi membimbingku ke ruang makan yang berada di bagian dapur yang letaknya di belakang. Aku tersenyum, ummi memang sangat mengenalku bukan sekedar siswanya tapi sebagai anaknya. Anak yang ditemukan di kelas mengajarnya. Dan aku yang merasa kehilangan ibu sebagai terminalku, ummi datang dan menawarkan terminal baru. Sehingga aku dapat beristirahat dan merenung sejenak untuk menemukan jalanku kembali.

Ummi menyendoki nasi di piringku, dan menyirami kuah lodeh yang kental dan beraroma harum. Asapnya mengepul menandakan sayur itu baru saja masak. Aku terharu mengetahui ummi dengan sengaja memasakkanku makanan kesukaanku yang selama ini hanya kucurhati ketika kumerindukan ayahku. Dulu pernah kukatakan bahwa aku menemukan ayah ketika aku makan sayur lodeh, sayangnya Mama tidak pernah mau membuatkannya untukku dengan alasan tidak sanggup mengingat lahapnya ayah ketika makan sayur lodeh. Aku dan ayah memang menyukai sayur lodeh, terlebih jika itu buatan Mama. Aku menangis mencicipi sayur lodeh buatan ummi Mahmudah. Suapan pertama mengantarkanku pada kenangan keluarga kecilku, semasa Ayah, Mama, dan aku hidup bahagia bersama. Suapan kedua mengalihkaku pada rasa pahit kehidupanku, sehingga aku tak lagi sanggup mengunyah dan mendiamkan suapan itu bersemayam di mulutku. Kali ini aku benar-benar menangis.

“Terimakasih ummi. Mulai sekarang ibuku adalah ummi.” Begitu ucapku yang membuat ummi Mahmudah meraih kepalaku dan menenggelamkan dalam pelukan hangatnya.
“kamu tetap anak ibumu, ummi hanya terminalmu. Tempat kamu singgah, tapi ummi tetap sayang kamu sampai kapanpun.” Ucapnya.
“tapi ummi, kenapa ada ibu yang menikah tanpa memberitahu anaknya? Saya ini apa? Saya ini siapa baginya? Jelas saya bukan anaknya. Saya tidak akan marah, wajar jika Mama menikah lagi dengan pria lain. Mama masih muda, dan saya sadar ayah tidak akan kembali hidup. Tapi saya kehilangan Mama saya, ummi.” Kutarik nafas dan kuhapus air mataku, kubenahi posisi dudukku.
“ummi, saya tidak mau pulang ke rumah baru Mama sama om Fendy, saya tinggal sama ummi saja ya.” Pintaku mengiba.

Kulihat wajah perempuan paruh baya itu, matanya yang sayu dilipat oleh kelopak mata yang mengeriput, kulit pipinya menurun, menandakan usianya sudah tidak lagi muda.
“Subhan, bukan ummi menolak permintaanmu. Tapi sebelum kamu kemari Mamamu terlebih dulu menghubungi ummi. Mamamu mengatakan bahwa kamu adalah putra kesayangannya, satu-satunya peninggalan ayahmu. Mamamu sayang kamu, hanya saja Mamamu mempunyai cara yang beda dengan ummi dalam menyayangimu. Pulanglah, di sana ada Bastian anak Om Fendy yang akan menjadi saudara sekaligus teman barumu.”
“Om Fendy duda juga mi? dari mana ummi tahu?” ummi hanya tersenyum menjawab pertanyaanku. Mungkin beliau tidak ingin aku tahu lebih banyak bagaimana beliau berkomunikasi dengan Mama tadi. Namun belum juga ummi menjawab, ada ketukan pintu dari luar. Ummi keluar setelah berpamitan padaku dan menyuruhku menghabiskan makananku.

Sayup-sayup kudengar suara anak laki-laki yang kutaksir usianya tidak jauh beda denganku, dan suara gadis. Ah mungkin anak-anak dari  sekolahku yang datang, pikirku. Kusendoki makanan di piringku sampai habis, setelah selesai aku menuju ruang tamu yang berada di depan. Mencoba cari tahu siapa yang datang.

“Subhan, ini Bastian. Dan Bastian ini Subhan anak Mamamu yang baru.” Ummi mahmudah memperkenalkanku dengan pria yang seusiaku, badannya tinggi, tegap dan atletis, rambutnya tertata rapi, mengenakan kaos dan celana denim yang membuat terlihat tampak lebih tampan. Berbeda denganku yang kurus, dengan memakai kaos oblong yang lusuh dan longgar, terkesan aku memakai baju kedodoran. Rambutkupun tak serapi dan berminyak seperti miliknya.

“Hai..” ucapnya sambil mengulurkan tangannya. Kuraih dengan perasaan campur aduk, kagum dan iri.
“hai… maaf saya tidak ikut acara di rumah baru.”
“oh, gak apa-apa. Mama banyak cerita tentang kamu kok. Luar biasa ya Mama, dia penyayang dan perhatian. Sebelum nikah dengan Papa dia sudah sering ke rumah untuk membuatkan aku makanan. Masakannya enak yah, aku senang dia bisa jadi mamaku. Kamu pasti beruntung punya ibu seperti Mama.” Katanya panjang lebar, menceritakan bagaimana Mama begitu perhatiannya dengan Bastian selama ini, dan di belakang itu semua Mama melupakan Subhan anaknya.

“oh iya, ini pacarku, kamu pasti saling kenal karena dia sekolah di tempatmu.” Kembali dia berucap sambil menunjuk gadis yang duduk di sofa yang kubelakangi. Ketika kulirik, betapa terkejutnya aku melihat gadis yang kukenal berada di belakangku. Nimas… gumamku!

Duniaku semakin suram, jalanku benar-banar berkabut. Jarak pandangku tidak lagi sempurna, aku berhenti di tepian, berdiam diri dan ingin menjerit minta pertolongan. Aku sesak. Gadisku diambilnya, dan kemudian Mamaku diraihnya. Aku tidak lagi mempunyai apa-apa. Nimas menyalamiku dengan senyum manisnya, seakan tidak pernah terjadi apapun di antara aku dan dia. Aku termangu, gugup dan berkecamuk. Hanya ummi seorang yang menyadari, mengajakku duduk bersampingan di sofa yang berhadapan dengan Bastian yang duduk bersama Nimas.

“Aku baru tahu loh, kalau kamu murid ibuku.” Perkataan Bastian membuatku tersambar petir, oh betapa aku ini berada di lingkaran berantai yang mentautkan antara satu anak rantai dengan lainnya, dan hanya aku anak rantai yang terlepas di ujungnya, terlewati dan hanya terkait tapi di luar lingkaran.

Kuedarkan pandanganku di seluruh ruangan tamu, mencari celah aku berbafas dari sesaknya informasi baru ini. Tapi mataku menangkap sebuah foto lama ummi yang memangku anak laki-laki dengan gigi-gigi ompong di bagian depannya. Senyum keduanya terlihat lebar dan ringan tanpa beban.

Pertemuan itu mengalir, dan hanya aku yang menggenang. Nimas bersikap sopan dan anggun, layaknya menantu sungguhan. Dan Bastian masih dnegan sikap santai dan banyak bicara, mudah bergaul sepertinya. Ingin segera aku akhiri pertemuan itu, agar aku bisa kabur. Tapi tak kunjung berakhir. Bastian tidak sepertiku yang bisa bergelayut manja pada ummi Mahmudah seperti anak kucing, Bastian cenderung menjauh dan lebih banyak memuji Mama di hadapan ibunya. Aku semakin bingung, padaku ibuku seolah bukan ibu. Pada Bastian, ummi Mahmudah seolah bukan ibunya. Bagaimana semua bertukar tempat dengan sekejap. Memang selama ini ummi Mahmudah hampir tidak pernah bercerita banyak tentang kehidupannya. Aku bahkan tidak pernah tahu jika beliau sudah menikah dan bercerai.

Bastian berpamitan, begitu juga dengan Nimas. Dan aku masih memaku diri di sofa. Mencoba mencari ilham Ilahi, dan aku terlepas dari lingkaran ini.
*****
Aku mulai menerima keadaanku, menjadi anak Mamaku dan anak tiri Om Fendy yang berulang kali memintaku menyebutnya ‘Papa’, sayangnya permintaan itu aku tak sanggupi meski sering aku iyakan. Bahkan Mama sempat memarahi terang-terangan di depan semua anggota keluarga tiri itu, mengatakan aku anak yang kurang ajar dan tidak tahu sopan santun, tidak seperti Bastian.

“Coba lihat Bastian, dia bahkan bisa ngertiin mau Mama. Tanpa aku suruh dia juga sudah memanggilku Mama. Apa susahnya sih cuma memanggil Papa?” suara meninggi dengan raut muka yang dilipat-lipat, sama seperti Angry Bird.

“Sudahlah Ma, Subhan butuh waktu karena kan Ayahnya yang meninggalkan Subhan, beda dengan Bastian yang memang membutuhkan ibu. Papa gak masalah kok.” Kata Om Fendy yang mencoba membelaku. Namun, itu tambah menyulut kebencianku. Sebab, sekalipun ayahku tidak pernah meninggalkanku. Dan itu bukan niat untuk meninggalkanku, itu hanya kepergian tanpa kembali yang sudah ditentukan.

“Han, ayahmu itu sudah gak ada. Gak di samping kita, gak di dunia Mama, gak di duniamu, Ayahmu sudah beda dunia. Dinantipun gak bakal datang. Kamu jangan hiidup seolah-olah ayahmu akan kembali. Ayahmu mati, makanya lupakan!”

“Mama boleh melupakan ayah, silahkan! Tapi jangan minta Subhan melupakan ayah. Tidak akan pernah!” bentakku sembari ke kamar dan meninggaalkan mereka yang berada di ruang keluarga. Aku mengambil jaket dan kunci motorku dan keluar. Sekilas aku lihat Mama dipeluk oleh Bastian dan usap-usap rambutnya penuh kasih atau penuh kepalsuan. Dan aku merasa jijik menontonnya. Kutinggalkan ruangan itu menuju motor yang berada di garasi. Ketika kunyalakan motor, lampunya menyoroti tubuh seorang gadis, sedang menutup matanya yang terkena cahaya lampu motorku, bibirnya tersenyum. Tidak lain itu adalaha senyum milik Nimas.

Tak kupedulikan Nimas yang melempariku senyuman, aku pergi meninggalkan pahit-pahit kenyataan di rumah itu. Menyusuri jalan sampai aku teringat dengan ummi Mahmudah. Perempuan yang sudah lama tidak kusinggahi rumahnya, terminal yang biasanya aku tuju, sempat hilang diingatan dan kembali saat sedihku datang. Sejak pertemuan itu aku mulai jarang menghubunginya, tidak kutahu juga apa hubungan jelas antara Om Fendy, Bastian, dan ummi Mahmudah.

Lamat-lamat kutemukan rindu, aku merindu dengan nasehatnya, dengan kehangatannya, dengan keibuannya, dengan kasihnya. Biarlah kuterima barter ini, biar saja Mama menerima Bastian sebagai anaknya, dan aku akan menerima ummi Mahmudah sebagai ibuku. Kukendarai motorku menuju rumahnya. Rumah dengan tembok usangnya.

“Assalamualaikum ummi…” panggilku dari depan pintu.
“Waalaikumussalam, Subhan?” kuamati wajah yang lama tak kujumpai. Nampak pucat dan sedikit layu.
“Ummi sakit?” tanyaku yang tentu dijawab dengan senyum saja.
“Maaf uumi ya, kalau sedih saja saya datang ke ummi. Tapi, ummi sakit saya tidak datang.” Ucapku penuh penyessalan sambil memapahnya duduk di sofa. Lengannya terasa lemas dan kurus.
“Tidak apa-apa Han. Ummi memang menunggu kamu dari banyak waktu. Ummi mau ceritakan sesuatu. Dengarkan dan rahasiakan!” ucapnya sembari menarik nafas dan kemudian menegak segela air yang berada di meja.

“kamu pasti kecewa sekaligus ingin tahu tentang hubungan ummi, Om Fendy dan Bastian. Bastian anak yang lahir dari rahim ummi, tapi om Fendy bukan suami ummi. Ummi dulu berbuat kesalahan, jatuh cinta pada lelaki yang tidak mencintai ummi. Mengorbankan kehormatan demi pengakuan. Ummi hamil agar dinikahi, namun penentangan datang bertubi-tubi dari keluarganya. Om Fendy orang yang bertanggung jawab, dia menikahi ummi meski diam-diam. Dan ummi hidup terpisah selama menjadi istrinya. Sampai akhirnya Bastian lahir, keluarganya tahu bahwa ummi melahirkan anak laki-laki. Singkat cerita keadaan ummi terpojok, Bastian tiba-tiba hilang dan belakangan diketahui ada di tangan orang tua Om Fendy. Dan Om Fendy mendatangi ummi dengan mengucapkan talak, dia mengatakan bahwa dia mulai mencintai ummi, sayangnya ummi mengecewakannya. Darinya ummi tahu bahwa orang tuanya mengatakan bahwa ummi menelantarkan Bastian di depan rumahnya, karena ummi sudah mempunyai laki-laki lain. Ummi sedih dan marah dengan fitnah itu, namun ummi tak mempunyai daya untuk melawan. Bahkan menjelaskannya pada Om Fendy pun tak diberi kesempatan. Ummi kehilangan terminal Han….”

Ummi mengangkat wajahnya, menengadah pada langit-langit rumah, menahan air matanya agar tak berderai.

“Seharusnya ummi bahagia mengetahui Om Fendy mulai mencintai ummi, sayangnya bahagia itu datangnya seperti kilat, yang kemudian disusul petir yang menggelegar. Ummi tidak punya tempat berlabuh Han, sampai akhirnya ummi bertemu denganmu. Merasakan kembali menjadi ibu, meski ummi kehilangan terminal, setidaknya ummi menjadi terminal buatmu Han…”

“Kemarin ummi tiba-tiba merasakan sakit perut melilit, ingin ummi menghubungimu, tapi ummi ragu. Jadi ummi ke dokter sendirian. Dan dari dokter ummi tahu bahwa ginjal ummi mengalami kerusakan. Ini rahasia Han, sekarang biarkan ummi menemukan terminal yang hilang di dirimu. Ummi akan bercerita dan berbagi denganmu, kamu bersedia Han?”

Tanyanya yang kusambut dengan angukan dan segukan tangisku.

"ini mungkin menjadi masa-masa terkahir ummi Han..." ummi berucap sembari memegang tanganku dan kemudian bahunya terguncang. aku bersedih, ummi yang selalu mendukungku dan membangkitkan aku dari keterpurukan, kini beliau menjalani hidup yang pesimis. kemana lagi aku harus berlabuh? menepi dan berhenti? di mana lagi akan kutemukan terminal senyaman terminal yang ditawarkan ummi Mahmudah, ibu yang penuh dengan sifat terpujinya.
"Han, jangan nangis! ingat pesan ayahmu dulu sebelum meninggal?" ucapnya sembari menguatkanku lewat ganggaman tangannya.
aku masih ingat betul apa kata ayah dulu. Ada apa menangis? tidak ada yang pantas di tangisi di dunia ini. tapi aku punya jawaban, aku tidak menangisi dunia, tapi aku menangisi diriku yang selalu kehilangan terminal pemberhentianku.

*NOTE
persembahan untuk temanku Ummi Mahmudah dan Nimas Anggraeni

Komentar

Posting Komentar