Long Story about Today


https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/
Sepotong cerita dari Amel
Hari ini terasa jauh, menjalaninya menjadi terasa lebih lama. Mengukurnya tidak terpaku pada jam, pada setiap menit yang terlewati. Semuanya menjadi lebih jauh, lebih dalam, dan lebih mengerikan.

Pada jam 5 pagi aku bangun, dengan segala aktifitas dan ritualku kubuka hariku dengan santai. Bangun tidur, meminum segelas air, dan berlari ke kamar mandi, kemudian mengejar waktu subuh agar tak terlewati, merebutnya dari kokok ayam tetangga.

Hari ini adalah janji, bertemu Amel dan Diah di kampus untuk mengerjakan skripsi. Kendatipun bagitu, semua tak susai janji, pertemuan hanya berisi cerita-cerita kami. Begitulah kami setiap hari, melepas beban masing-masing diri. Atau bercerita tentang Idol K-pop, bercerita dramanya, lalu bercerita film Indonesia, sampai akhirnya cita-cita atau impian untuk masuk di dalamnya.
https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/
Amel, Aku, dan Diah
Kemudian sayap-sayap terdengar resah kami, gundah hati kami, lara hati kami. Banyak macam rasa yang menghampiri, membagilah kami tentang rasa dan apa yang diingini. Aku masih bersusah-susah menyembunyikan diri, memunculkan sisi lain. Aku bercerita banyak tentang keseruan-keseruan lain dengan bahasa yang tak kalah serunya.

Sampai akhirnya pandangan Amel teralih pada seseorang dengan perawakan besar, menggunakan celana jeans dengan kaos serta kemeja yang kancing-kancingnya tak terpasang, dipadu dengan jilbab segi empat yang digunakan dengan begitu saja, disemat jarum bawah dagunya. Di kedua pundaknya ada sepasang tali ransel hitam, dengan desis pelan Amel menyebut sebuah nama yang mendengarnya membuat darah di tubuh ini berlalu-lalang, deras dan padat bahkan macet layaknya jalanan di depan kampus.

“Mia…” sebut Amel. Kualihkan pandanganku sejurus pandangannya. Tapi, tidak sesuai harapan, dia bukanlah Mia, tapi hanya sosok yang menyerupainya.

Lalu ingatan-ingatan tentang kebersamaan itu datang kembali, aku mundur beberapa waktu yang lalu, bagaimana kebiasaan kami, berbincang tentang perbincangan idealis. Semakin mengingatnya semakin jauh lagi aku terbawa, bagaimana aku menajalani hari-hariku di kelas, duduk bersama di barisan yang sama, saling mengirim pesan dan meminta diambilkan tempat duduk yang saling berdekatan bagi siapa yang datang terlebih dahulu. Kecil aku tersenyum.

“Kenapa elu Man?” tanya Amel.

“Ah, gue jadi pengen inget bagaimana kita bisa jadi temanan kayak gini. Padahal elu kan dulu deket sama si…” aku terdiam, semakin masuk ruang ingatan dulu ketika yang kutahu Amel belum menjadi sedekat ini dengan kami. Dia sering terlihat dengan salah satu teman kelas namanya En, tapi pada semester tiga jika tidak salah, En mulai mengikuti aktifitas keagamaan dan itu cukup membawa perubahan besar baik dari penampilannya dan cara berfikirnya.

“Eh Mel, elu dulu kenapa bisa renggang sama si En? Apa karena dia jadi lebih ekstrim?” selidikku.

“Enggak sih Man, mungkin karena si En mulai sibuk dengan kegiatan-kegiatannya pasca dia ikutan jadi aktifis, dan sebenernya gue itu gampang temenan.”

“iya sih, elu kayak gue.” Sela ku yang membuat Amel bertanya “Maksud lu?”

elu kayak gue, gampangan.” Yang kemudian disambut tawaku dan tawanya, membahana. Kita memang gampang berteman dengan siapa saja, namun susah menajadi teman yang sesungguhnya teman pada orang yang tak menganggap kita teman. Lalu terdiam…

“Kangen Mia tau Man, ke mana sih dia?” itu pertanyaan yang sama-sama kita cari jawabannya, dan itu juga rasa yang sama-sama kita rasakan. Untuk menemukannya aku kembali menjauh dari masaku, mundur pada awal-awal pertemuanku dengannya di kelas baru dulu. Semester satu saat itu, menjadi awal kita bertemu. Mia yang kulihat dulu adalah sosok misterius dengan daya tarik perasaan penuh sangka. Cuek, acuh tak acuh dan serius. Tetapi mengenalnya lebih jauh Mia tidak sekedar serius tapi bisa menjadi sirkus dan jenius.
https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/
Mella, Denisa, dan Mia
“Masih inget gak sih Mel waktu kita makan di Sabana? Yang kita bercerita tentang arti teman?” tanyaku mengajaknya masuk pada masa itu.

“Oh, yang Mia bilang kita bukan teman? Iya gue inget.” Jawabnya sembari menatap lurus dan menerawang, jiwanya mulai memindahkan diri pada masa itu, maka kuikuti saja.

“Waktu itu gue kan bilang Mel, kalau bagi gue teman itu segalanya.” Kataku.

“Iya, terus begitu kita tanya Mia, Mia bialng kita bukan teman. Belum bisa disebut teman. Jleeeb banget tau waktu denger dia bilang gitu.” Ujarnya dengan wajah tersenyum ketir. Tapi bukan itu senyum kecewanya, melainkan senyum kerinduannya, seberapapun kami tidak berharganya bagi Mia. Tapi Mia cukup banyak bersama kami, yang saling memberi semangat, memberi dukungan dari segala semua yang masing-masing kami alami. Hanya saja Mia mempunyai caranya untuk mengekspresikan pertemanannya.

Amel masih tersenyum, belum pudar dan masih penuh tanya. Kemana Mia? Semakin bertanya, maka semakin menyalahkan. Mungkin di sini akulah yang memulai kesalahan, saat itu semester enam ketika ku memutuskan menempuh jalan dengan mengesampingkan idealis yang ada. Aku jatuh pada perangkap cinta, meski tahu itu salah. Aku mulai meninggalkan kegiatan kuliah, waktu bersama teman semakin kurang, jarak mulai membentang, temu tak lagi datang. Aku mulai sibuk dengan kehidupanku, sampai akhirnya kuputuskan menghilang.
https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/
Sepotong kenangan

Aku menghilang. Aku tidak lagi muncul di sekitar mereka. Aku mencoba menjadi diri seutuhnya, dan mendirikan pendirian yang tak butuh teman. Namun nyatanya aku tetap butuh teman, seperti yang aku katakan dulu pada mereka bahwa teman segalanya bagiku, adalah orang-orang yang berarti untukku. Pada akhirnya aku kosong, aku bingung.

Aku bahkan tidak mengetahui kabar-kabar temanku, sampai akhirnya Mia sekali menghubungiku menanyakan sesuatu tentang hubungan keluarga. Aku berfikir dia pun akan menikah, namun posisinya berbeda, posisinya hampir menjadi pengagal kisah cinta orang. Itu terakhir kali sebelum dia memberitahuku tentang kekecewaannya pada seorang dosen, semangatnya tumbuh untuk lulus ketika teman-temannya tidak bersama, namun dia terjatuh oleh keputusan tak adil. Dia dipaksa mengganti dan menyusun ulang skripsi yang hampir matang.

Jika saja aku di sana, pasti dengan ribuan kosa kata yang kupunya kuucapkan kalimat penyemangat. Bukan hanya aku, jika pula Amel, Mella, Diah, dan Denisa bersama, jalan pasti menjadi lebih mudah. Saling mencari dan saling menemukan untuk penyelesaiannya.

“Mel, elu tau apa kata Nicholas Saputra?” tanyaku mengalihkannya.

“tentang?”

Full time traveler, part time actor. Begitu cintanya dia dengan travel sampai dunia keartisannya bukan sesuatu yang menarik dan sekedar part time aja.” Celotehku pada Amel.

Busyet, part time actor. Gile, keren amet no. kalau elu?” tanyanya dengan tatapan mata penuh tanda tanya tak kumengerti.

“Bagi gue, full time temen, dan part time keluarga.”

“Wauuuu…. Gue jadi ngerti tentang keinginan bebas yang lu mau.” Sahutnya dengan anggukan yang terulang, semakin diulang semakin dalam dan pasti, seakan dia mengerti penuh yakin.

Aku dengan ceritaku, temanku sudah tahu. Aku dengan mauku, Amel juga tahu. Aku dengan kegelisahanku, dia tahu. Begitulah aku membangun pertemanan, aku berusaha masuk pada perasaan mereka, pada pemikiran mereka dengan mengajak mereka masuk dan tahu tentang perasaan dan pemikiranku. Baik teman di pesantren maupun teman di kampus, aku hampir bisa merasakan semua yang mereka rasakan, membagi seperti yang mereka bagi, karena itu aku selalu mengajukan solusi. Namun itu tidak sama pada cintaku. Huft… ini menjaid cerita yang lain.

Hari sudah sore, aku dan Amel beranjak dan pergi. Kami masih saling berbagi, tentang cerita-cerita yang terpendam dan tak diketahui. Sampai akhirnya kami menaiki angkutan umum, Amel memperhatikanku dengan seksama dan mengatakan sesuatu yang mengejutkanku.

“Kok elu tampak kusem gitu Man? Kenapa?”

“Oyah? Mungkin karena mau pulang dan berpisah dengan teman.” Jawabanku lebih mengejutkan bagi Amel, hal itu terlihat dari pandangannya meski kemudian ia iringi dengan gelak tawa.

Lalu aku mulai kembali masuk semakin jauh, semakin dalam pada masa laluku. Masa kecilku dulu yang hidup dengan seorang nenek dan seorang kakak laki-laki. Tanpa ayah, tanpa ibu. Bukan karena kami tidak memiliki, hanya saja mereka jauh dari kami. Aku tumbuh bersama nenek yang memperlakukanku bagaikan seorang putri. Bermain, berteman itu harus terpilih dan sesuai yang dia cocoki. Kesempatan aku berteman banyak adalah sekolahku. Karena itu aku selalu bersemangat untuk pergi ke sekolah, meski aku tidak tahu jam saat itu, aku selalu rapi sebelum ada suara pesawat melintas di langit halaman rumahku. Sebab, sesuai kata temanku, jika pesawat terbang melintas itu artinya sudah jam tujuh pagi.

Setelah pulang dari sekolah, aku dengan teman-temanku akan mampir di sebuah rumah yang menayangkan film India, aku akan menonton layaknya bioskop. Begitu setiap hari sebelum aku pulang dan kembali terkunci. Bagai Rapunzel yang terkurung di puri. Demikian yang aku alami. Semakin aku ingat, semakin aku tidak memiliki, teman yang disebut sejati. Aku sadar bagaimana aku bisa mencintai teman dan saling mengasihi, itu karena masa kecilku yang sepi.

Kuutarakan pada Amel, aku sampaikan bahwa sewaktu aku kecil aku tidak pernah berteman. Dan ternyata dari ceritaku, kutemukan banyaknya trauma-trauma masa kecilku. Yang kemudian Amel tutup dengan kalimat yang membuatku menyadari diri.

“Ternyata elu itu keliatannya aja seperti beringin, padahal elu itu toge.”

Ah, ini kalimat pamungkas di hari ini. Terimakasih Amel untuk cerita hari ini.

Hari ini menjadi panjang dalam ingatan-ingatanku.
https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/
Foto satu-satunya untuk kita berenam

Komentar