![]() |
| Sepotong cerita dari Amel |
Hari ini terasa jauh, menjalaninya menjadi terasa lebih lama.
Mengukurnya tidak terpaku pada jam, pada setiap menit yang terlewati. Semuanya
menjadi lebih jauh, lebih dalam, dan lebih mengerikan.
Pada jam 5 pagi aku bangun, dengan segala aktifitas dan
ritualku kubuka hariku dengan santai. Bangun tidur, meminum segelas air, dan
berlari ke kamar mandi, kemudian mengejar waktu subuh agar tak terlewati,
merebutnya dari kokok ayam tetangga.
Hari ini adalah janji, bertemu Amel dan
Diah di kampus untuk mengerjakan skripsi. Kendatipun bagitu, semua tak susai
janji, pertemuan hanya berisi cerita-cerita kami. Begitulah kami setiap hari,
melepas beban masing-masing diri. Atau bercerita tentang Idol K-pop, bercerita
dramanya, lalu bercerita film Indonesia, sampai akhirnya cita-cita atau impian
untuk masuk di dalamnya.
![]() |
| Amel, Aku, dan Diah |
Kemudian sayap-sayap terdengar resah kami, gundah hati kami,
lara hati kami. Banyak macam rasa yang menghampiri, membagilah kami tentang
rasa dan apa yang diingini. Aku masih bersusah-susah menyembunyikan diri,
memunculkan sisi lain. Aku bercerita banyak tentang keseruan-keseruan lain
dengan bahasa yang tak kalah serunya.
Sampai akhirnya pandangan Amel teralih pada seseorang dengan
perawakan besar, menggunakan celana jeans dengan kaos serta kemeja yang
kancing-kancingnya tak terpasang, dipadu dengan jilbab segi empat yang
digunakan dengan begitu saja, disemat jarum bawah dagunya. Di kedua pundaknya
ada sepasang tali ransel hitam, dengan desis pelan Amel menyebut sebuah nama
yang mendengarnya membuat darah di tubuh ini berlalu-lalang, deras dan padat
bahkan macet layaknya jalanan di depan kampus.
“Mia…” sebut Amel. Kualihkan pandanganku sejurus
pandangannya. Tapi, tidak sesuai harapan, dia bukanlah Mia, tapi hanya sosok
yang menyerupainya.
Lalu ingatan-ingatan tentang kebersamaan itu datang kembali, aku
mundur beberapa waktu yang lalu, bagaimana kebiasaan kami, berbincang tentang
perbincangan idealis. Semakin mengingatnya semakin jauh lagi aku terbawa,
bagaimana aku menajalani hari-hariku di kelas, duduk bersama di barisan yang
sama, saling mengirim pesan dan meminta diambilkan tempat duduk yang saling
berdekatan bagi siapa yang datang terlebih dahulu. Kecil aku tersenyum.
“Kenapa elu Man?” tanya Amel.
“Ah, gue jadi pengen inget bagaimana kita bisa
jadi temanan kayak gini. Padahal elu kan dulu deket sama si…” aku
terdiam, semakin masuk ruang ingatan dulu ketika yang kutahu Amel belum menjadi
sedekat ini dengan kami. Dia sering terlihat dengan salah satu teman kelas
namanya En, tapi pada semester tiga jika tidak salah, En mulai mengikuti
aktifitas keagamaan dan itu cukup membawa perubahan besar baik dari
penampilannya dan cara berfikirnya.
“Eh Mel, elu dulu kenapa bisa renggang sama si En? Apa
karena dia jadi lebih ekstrim?” selidikku.
“Enggak sih Man, mungkin karena si En mulai sibuk dengan
kegiatan-kegiatannya pasca dia ikutan jadi aktifis, dan sebenernya gue
itu gampang temenan.”
“iya sih, elu kayak gue.” Sela ku yang membuat
Amel bertanya “Maksud lu?”
“elu kayak gue, gampangan.” Yang kemudian
disambut tawaku dan tawanya, membahana. Kita memang gampang berteman dengan
siapa saja, namun susah menajadi teman yang sesungguhnya teman pada orang yang
tak menganggap kita teman. Lalu terdiam…
“Kangen Mia tau Man, ke mana sih dia?” itu pertanyaan yang
sama-sama kita cari jawabannya, dan itu juga rasa yang sama-sama kita rasakan.
Untuk menemukannya aku kembali menjauh dari masaku, mundur pada awal-awal
pertemuanku dengannya di kelas baru dulu. Semester satu saat itu, menjadi awal
kita bertemu. Mia yang kulihat dulu adalah sosok misterius dengan daya tarik
perasaan penuh sangka. Cuek, acuh tak acuh dan serius. Tetapi mengenalnya lebih
jauh Mia tidak sekedar serius tapi bisa menjadi sirkus dan jenius.
![]() |
| Mella, Denisa, dan Mia |
“Masih inget gak sih Mel waktu kita makan di Sabana?
Yang kita bercerita tentang arti teman?” tanyaku mengajaknya masuk pada masa
itu.
“Oh, yang Mia bilang kita bukan teman? Iya gue inget.”
Jawabnya sembari menatap lurus dan menerawang, jiwanya mulai memindahkan diri
pada masa itu, maka kuikuti saja.
“Waktu itu gue kan bilang Mel, kalau bagi gue
teman itu segalanya.” Kataku.
“Iya, terus begitu kita tanya Mia, Mia bialng kita bukan
teman. Belum bisa disebut teman. Jleeeb banget tau waktu denger dia
bilang gitu.” Ujarnya dengan wajah tersenyum ketir. Tapi bukan itu senyum
kecewanya, melainkan senyum kerinduannya, seberapapun kami tidak berharganya
bagi Mia. Tapi Mia cukup banyak bersama kami, yang saling memberi semangat,
memberi dukungan dari segala semua yang masing-masing kami alami. Hanya saja
Mia mempunyai caranya untuk mengekspresikan pertemanannya.
Amel masih tersenyum, belum pudar dan masih penuh tanya.
Kemana Mia? Semakin bertanya, maka semakin menyalahkan. Mungkin di sini akulah
yang memulai kesalahan, saat itu semester enam ketika ku memutuskan menempuh
jalan dengan mengesampingkan idealis yang ada. Aku jatuh pada perangkap cinta,
meski tahu itu salah. Aku mulai meninggalkan kegiatan kuliah, waktu bersama
teman semakin kurang, jarak mulai membentang, temu tak lagi datang. Aku mulai
sibuk dengan kehidupanku, sampai akhirnya kuputuskan menghilang.
![]() |
| Sepotong kenangan |
Aku menghilang. Aku tidak
lagi muncul di sekitar mereka. Aku mencoba menjadi diri seutuhnya, dan
mendirikan pendirian yang tak butuh teman. Namun nyatanya aku tetap butuh teman,
seperti yang aku katakan dulu pada mereka bahwa teman segalanya bagiku, adalah
orang-orang yang berarti untukku. Pada akhirnya aku kosong, aku bingung.
Aku bahkan tidak mengetahui kabar-kabar temanku, sampai
akhirnya Mia sekali menghubungiku menanyakan sesuatu tentang hubungan keluarga.
Aku berfikir dia pun akan menikah, namun posisinya berbeda, posisinya hampir
menjadi pengagal kisah cinta orang. Itu terakhir kali sebelum dia memberitahuku
tentang kekecewaannya pada seorang dosen, semangatnya tumbuh untuk lulus ketika
teman-temannya tidak bersama, namun dia terjatuh oleh keputusan tak adil. Dia
dipaksa mengganti dan menyusun ulang skripsi yang hampir matang.
Jika saja aku di sana, pasti dengan ribuan kosa kata yang
kupunya kuucapkan kalimat penyemangat. Bukan hanya aku, jika pula Amel, Mella,
Diah, dan Denisa bersama, jalan pasti menjadi lebih mudah. Saling mencari dan
saling menemukan untuk penyelesaiannya.
“Mel, elu tau apa kata Nicholas Saputra?”
tanyaku mengalihkannya.
“tentang?”
“Full time traveler, part time actor. Begitu cintanya
dia dengan travel sampai dunia keartisannya bukan sesuatu yang menarik
dan sekedar part time aja.” Celotehku pada Amel.
“Busyet, part time actor. Gile, keren amet no.
kalau elu?” tanyanya dengan tatapan mata penuh tanda tanya tak
kumengerti.
“Bagi gue, full time temen, dan part time
keluarga.”
“Wauuuu…. Gue jadi ngerti tentang keinginan bebas yang
lu mau.” Sahutnya dengan anggukan yang terulang, semakin diulang semakin
dalam dan pasti, seakan dia mengerti penuh yakin.
Aku dengan ceritaku, temanku sudah tahu. Aku dengan mauku,
Amel juga tahu. Aku dengan kegelisahanku, dia tahu. Begitulah aku membangun
pertemanan, aku berusaha masuk pada perasaan mereka, pada pemikiran mereka dengan
mengajak mereka masuk dan tahu tentang perasaan dan pemikiranku. Baik teman di
pesantren maupun teman di kampus, aku hampir bisa merasakan semua yang mereka
rasakan, membagi seperti yang mereka bagi, karena itu aku selalu mengajukan
solusi. Namun itu tidak sama pada cintaku. Huft… ini menjaid cerita yang lain.
Hari sudah sore, aku dan Amel beranjak dan pergi. Kami masih
saling berbagi, tentang cerita-cerita yang terpendam dan tak diketahui. Sampai
akhirnya kami menaiki angkutan umum, Amel memperhatikanku dengan seksama dan
mengatakan sesuatu yang mengejutkanku.
“Kok elu tampak kusem gitu Man? Kenapa?”
“Oyah? Mungkin karena mau pulang dan berpisah dengan teman.”
Jawabanku lebih mengejutkan bagi Amel, hal itu terlihat dari pandangannya meski kemudian ia iringi dengan gelak tawa.
Lalu aku mulai kembali masuk semakin jauh, semakin dalam pada
masa laluku. Masa kecilku dulu yang hidup dengan seorang nenek dan seorang
kakak laki-laki. Tanpa ayah, tanpa ibu. Bukan karena kami tidak memiliki, hanya
saja mereka jauh dari kami. Aku tumbuh bersama nenek yang memperlakukanku
bagaikan seorang putri. Bermain, berteman itu harus terpilih dan sesuai yang
dia cocoki. Kesempatan aku berteman banyak adalah sekolahku. Karena itu aku
selalu bersemangat untuk pergi ke sekolah, meski aku tidak tahu jam saat itu,
aku selalu rapi sebelum ada suara pesawat melintas di langit halaman rumahku.
Sebab, sesuai kata temanku, jika pesawat terbang melintas itu artinya sudah jam
tujuh pagi.
Setelah pulang dari sekolah, aku dengan teman-temanku akan
mampir di sebuah rumah yang menayangkan film India, aku akan menonton layaknya
bioskop. Begitu setiap hari sebelum aku pulang dan kembali terkunci. Bagai
Rapunzel yang terkurung di puri. Demikian yang aku alami. Semakin aku ingat,
semakin aku tidak memiliki, teman yang disebut sejati. Aku sadar bagaimana aku
bisa mencintai teman dan saling mengasihi, itu karena masa kecilku yang sepi.
Kuutarakan pada Amel, aku sampaikan bahwa sewaktu aku kecil
aku tidak pernah berteman. Dan ternyata dari ceritaku, kutemukan banyaknya
trauma-trauma masa kecilku. Yang kemudian Amel tutup dengan kalimat yang
membuatku menyadari diri.
“Ternyata elu itu keliatannya aja seperti beringin,
padahal elu itu toge.”
Ah, ini kalimat pamungkas di hari ini. Terimakasih Amel untuk
cerita hari ini.
Hari ini menjadi panjang dalam ingatan-ingatanku.
![]() |
| Foto satu-satunya untuk kita berenam |





Komentar
Posting Komentar