Untuk Selama Ini-pada kalian

pernah merasa sekosong ini?
Bicara tentang perjalanan hidup, hidupku selalu diawali dengan terima kasih dan diakhiri dengan maaf?
Kenapa terimakasih harus mendahului dan maaf mengakhiri? Bukankah lebih baik mengakui kesalahan lebih baik dengan maaf? Ataukah aku yang selalu merasa tidak punya salah?
TIDAK, aku mendahulukan terimakasih karena akan membuatmu tersenyum, dan maaf akan membuatmu lega. Sehingga seterusnya kamu akan tersenyum lega, puas, dan lepas!
Beberapa hari yang lalu aku diberitahu bahwa hari rabu tanggal 1 Juni aku akan pulang ke Surabaya, mendengarnya membuatku hampir menangis. Menangisi bayangan yang akan datang, menangisi yang akan kutinggal, menangisi semua yang sudah kusimpan. Kata pulang kali ini menjadi sebilah pisau yang pada waktunya siap memutus uratku, urat kesenanganku. Bagaimana tidak, kata pulang kali ini menjadi hal yang mengerikan bagiku, karena ini pertanda usainya masa kependudukanku di pinggiran Jakarta dan menjadi orang Surabaya.

Tiba-tiba perasaan yang sama seperti yang kurasakan sebelumnya terulang. Perasaan saat aku hampir wisuda dari pesantren dulu, perasaan seakan aku tidak akan lagi menemukan hidup indah, perasaan seakan aku tak akan lagi melihat semua yang pernah aku lihat, perasaan seakan aku tak akan lagi mempunyai teman seperti mereka. Kali inipun sama, tak akan ada lagi rencana-rencana bersama, tak akan ada lagi saling bagi rasa, tak akan ada lagi  decak tawa, marah yang membahagiakan, lelucon yang menggelikan, hal-hal kecil yang mengundang gelak tawa. Semua seakan tidak pernah aku miliki dan aku rasa. Selesai sudah, meski kenyataannya nanti beda. Pasti ada meski tak sama!

Sejak tahun 2010 aku membangun hidupku sendiri, merantau dan melepaskan diri dari keluarga. Sebuah kenekatan dan tantangan, di tengah segala ketidak-PeDe-anku berada di lingkungan baru, dengan semua kecanggungan yang harus kuatasi mengantarkanku mengenal beberapa orang baru. Diantaranya sampai saat ini masih menjadi teman karib yang solid, meski aku tidak berani mengatakan mereka adalah sahabat. Sebab aku tak yakin mereka menganggapku demikian. Amel, Denisa, Diah dan Mella mereka masih solid menjadi kawan sejawat yang menjadi anak kampus tak berujung. Mengingat bahwa sebentar lagi aku akan meninggalkan mereka sejenak membuatku ingin menangis.

Pada saat itu kontan membuatku meraih handphone dan mengirim pesan melalui group di Whatsapp, menyampaikan bahwa waktuku sudah usai. Waktu dengan rencana-rencana yang belum mabrur, waktu dengan semua keinginan yang belum tuntas. Karenanya untuk sekedar menunaikan dari sekian rencana aku dan mereka membuat keinginan, atau mewujudkan keinginan dengan membuat rencana. Sederhana, hanya menghabiskan waktu di luar radar kampus, menghabiskan masa bersama di area luar. Area yang belum kita jajaki bersama meski sudah berulang kita ke sana. Dengan pesan-pesan itu akhirnya ditentukan putusan akhir, Kota Tua sisa bangunan lama dan beberapa museum menjadi target lokasi, dan hari senen adalah pilihan hari, serta berangkat pagi sebagai ketentuan waktu.

Senin pun tiba, seiring dengan kerancuan. Mella mengabari tragedi, Diah masih tak kunjung ada kabar, dan denisa masih dengan segala kekacauan jaringan. Waktu terus berlalu tanpa mampu dihentikan, kuundur kepergian menjadi jam 9, masih bergulat pendapat. Aku risau dan mulai kecewa, Amel sudah siap dengan aba-aba keberangkatannya. Sedang aku belum juga punya kepastian, kucari cara bagaimana agar aku sampai di lokasi, entah itu ikut kereta atau naik angkot. Hanya saja Amel tak merestui, tetap pada rencana semula, berkereta sama-sama.

Kalo bisa bareng mending bareng man.
Kota jauh looh.. krik banget kalo sendirian.

Pesan Amel di Whatsapp, tetapi aku sudah was-was. Rencana yang tadinya jam 8 sampai jam 10 belum juga bergerak tanda terlaksana. Kukirimkan pesan menawarkan pembatalan, karena waktu sudah tengah hari. Tak cukup lama untuk bercengkrama. Namun amel merajuk, mengatakan jangan sampai batal. Aku tidak tahu ini karena kemurnian hatinya yang ingin mewujudkan keinginanku jalan-jalan bersama, atau mungkin karena dia sudah membatalkan semua janjinya untuk hari itu, dan bisa juga karena dia sudah terlanjur rapi dan siap beraksi.

Udah Mel cancel aja kali yah.
Udah siang tau
Mending elu ke Blok M dah!

Amel pasti terkejut dengan pesanku, dipikirnya apa hubungan Kota Tua dengan Blok M? Mungkin yang paling menghubungkan Kota Tua dan Blok M adalah Transjakarta. Keterkejutannya ia perjelas dengan balasan: ha? Ngapain ke Blok M?

Kita ketemu di sana ajah
Trus karaokean
Gimana?

Alasanku sederhana, sebelumnya Amel sudah menyampaikan keinginanya untuk berkaraoke, hanya karena mauku berpiknik otomatis pilihan adalah area terbuka.
…. Gue sih oke ajah ‘-‘
Yang lain nyusul ke Blok M gitu?

Kali ini aku tanpa pemaksaan, aku balas pesan Amel: yang ini gue gak maksa, gue ngajakin elu, kalo yang lain mau ya gak papa. Di sini murni keinginanku, setelah kurefleksi betapa aku yang sangat berharap sehingga memeras mau mereka untuk meuwujudkan keinginanku. Betapa mereka harus merelakan diri melepas kegiatan-kegiatan pribadi. Aku akui aku egois, karena itu aku batalkan rencana semula sehingga membuka ruang memilih bagi mereka. Bagiku ditemani Amel yang memang sedari tadi siap diri itu sudah cukup. Namun, siapa sangka justru ini lebih memeras mereka, lebih memaksa diri mereka, dengan alami timbul rasa ketidaknyamanan padaku, timbul rasa kecewa, dan mungkin bersalah.

Begitu dalam pertemanan, kadang ketulusan membuat ketidaknyamanan. Keikhlasan menjadi kekecewaan. Apapun itu, hari ini tetap berlalu. Pertemuan masih terlaksana, dimulai dari penantianku di A&W dengan segelas Sundaes bertoping pisang, kulenyapkan semua rasa yang sebelumnya tak mereda. Bertemu Amel dan memburu makanan paket murah, yang pada akhirnya tampak kemahalan dan keterlaluan, itu menghidupkan penyesalan.

Foodcort di Blok M Square memang sangat fantastis, harganya sesuai kantong mahasiswa. Pandanganku menangkap penawaran paket pecel yang harganya 10.000, tentu kamu akan mengangguk dan mengiyakan mauku membeli paket pecel itu. Nasi, tahu tempe, lalapan, dan kerupuk udang menjadi satu paket yang mengenyangkan dengan harga ekonomis, hanya 10.000. sepuluh ribu itulah yang membawa Amell serta, mengajaknya membeli bakso yang harganya sama. Sayangnya Paket Pecel tidak tersedia, kemudian 10.000 berubah menjadi paket 19.000 nasi, ayam bakar dan sebotol air mineral. Satu kelemahanku, jika sudah pada posisi penawaran terkadang seketika aku terpesona dan tak berfikir di luar sana ada yang lebih baik. Buruknya lagi setelah memesan dan membayar Amel menemukan penawaran yang lebih baik lagi, segalanya Amel bacakan paket makanan sejenis namun dengan banyak tambahan cukup membuatku sangat, sangat, sangat menyesal.

Selanjutnya penyesalan itu menjadi candaan, terutama sewaktu Diah berhasil memesan makanan paket nasi, ayam, tahu, lalapan, sayur asem, kerupuk dan es teh dengan harga 20.000. Berulang kali Amel ulang, dan mengatakan: Tu kan Man, enakan punya Diah, dapet…. STOP tak mau kudengar lagi kelanjutannya. Bukan marah, tapi lebih pada rasa ingin mengejek diri.

Namun suasana tak meriah, ada canggung dan tak nyaman. Diah mungkin masih tak nyaman denganku, dan aku berusaha menetralisir dengan sikap yang canggung. Sedang Amel tak kuasa mengendalikan suasana, keyakinannya biarlah berlalu nanti akan kembali semula. Kecanggungan itu melewati tawa dari nonton bareng My Stupid Boss yang belakangan menjadi sangat hits, sebuah rencana mendadak dari sebuah keinginan yang sempat terlewati, nonton bareng. Namun, seberapa banyak tawa yang keluar tak mengenyahkan rasa canggung. Terlebih ketika aku kembali memaksa mauku makan nasi bungkus di atas rerumputan seolah itu adalah piknik. Sayangnya, kesempatan terlewati setelah kita lalui perjalanan dengan lelah kaki, di waktu sore hari, taman bukan lagi tempat rekreasi.
sangat ingin makan di atas rerumputan bareng teman
gagal! taman tutup sore


Makan bersama tetap lanjut

beda suasana

beda lokasi

dan bukan lagi piknik, melainkan buka puasa.

Sehingga suasana piknik menjadi suasana buka puasa setelah shalat magrib terlaksana. Aku bisa memenuhi mimpiku dengan cara yang beda, mewujudkan keinginan di ruang terbuka, di hamparan pemandangan yang sejuk dan indah. Itu kami temukan di lantai tujuh, di pelataran masjid Blok M Square.

Berpemandangan langit berawan sore hari, dengan miniature ka’bah sebagai pohon mimpi, serta angina hangat serupa keringat Jakarta yang pulang kerja, suasana menjadi renyah penuh certa dan tawa. Canggung dan sekat sudah tak ada. Mencair bagai es tersiram air panas. Hangat dan dingin menjadi biasa dan sangat nyaman. 


Untuk tawa itu aku berterimakasih, untuk sisa waktu itu aku berterimakasih, untuk kebersamaan itu aku berterimakasih, untuk mau menerimaku menjadi teman aku berterimakasih, untuk semua kenangan yang kalian berikan aku berterimakasih. Meski bagi kalian aku tak berarti, cukup tahu kalian bagiku berarti. Kuharap kalian tersenyum!





Karena itu aku meminta maaf untuk semua salahku, dari egoisku, sok tahuku, tempramenku, kata kasarku, sikapku, acuhku, pendendamku, bringasku, paksaanku, dan semua yang membuat kalian tidak nyaman olehku. Cukup banyak salahku, bahkan aku tak sanggup menghitung. Kuharap dengan pengakuanku kalian lega!


Dari semua kata-kata manisku, ada yang kumau, sempatkan doamu untukku, meski ada tak adanya aku di sisimu!

Komentar