Mengenangnya (Dona)

Tak Ada New York Hari Ini- demikian judulnya.
Dengannya... mendalami kata pada masa lalu, bagi setiap yang mengenalku

Sudah sejak mendengar sajaknya dari suara Rangga di Ada Apa Dengan Cinta? 2, aku mencarinya. Mencari tahu asal usulnya. Puisi dengan bait-bait indahnya merupakan karya M Aan Mansyur, yang nama sempat bertandang di hastag twitter.
Baru saja aku mampir di toko buku untuk mencarinya, buku ini duduk manis berdampingan dengan buku Aku-Sjuman Djaya. Keduanya memang menjadi jiwa dari dua sekuel film Ada Apa Dengan Cinta? Aku membuka dan membaca keseluruhan puisinya. Tetapi di mataku merebak air yang ingin tumpah tapi tidak kunjung tumpah. Bukan, ini bukan karena isinya mengharu-biru, bukan pula karena aku terlalu mendalaminya. Ini karena ada kilasan bayangan yang melintas di benakku.

Siti Maisyaroh Romadhona, yang awalnya minta dipanggil Saroh, tak lama kemudian dipanggil Dona. Apapun panggilannya dia tetaplah Siti Maisyaroh Romadhona. Sekilas melihatnya seperti keturunan Arab, hidung mancung, badan tinggi besar, mata tajam dan lebar, pipinya sedikit tirus. Dia cantik dengan ciri khasnya. Dia adalah kawanku, saudaraku, temanku, sainganku. Teman dari keseluruhan teman-temanku. Pada buku yang kupegang, kudapati wajahnya di sana. Tapi bukan menjadi objek dari potret Mo Riza yang melengkapi buku itu, wajahnya hanya mataku yang dapat menangkapnya.
Dari Kiri-kanan: Murtina Ningsih, Yuni Putri Dwita, Siti Maisyaroh Romadhona
Aku merinding,
pada klimaks katanya...
Serupa aku bertemu diri dari masa lalu
Menyebutnya Menantu.

Aku bertemu dengan Dona dalam buku itu, dengan mimik muka yang sulit diterjemahkan, berdiri dengan mencondongkan separuh badannya ke depan, tangannya merentang lebar, di antara jari-jarinya terdapat selembar kertas. Kemudian dia mulai bersuara lantang, berat dan menggema, meletup memekakan telinga. Dona berdeklamasi. Tahukah itu puisi siapa? Itu puisi tulisanku. Benar, aku menulis puisi untuknya. Betapa bangganya aku ketika puisi itu dideklamasikan olehnya, tidak sempurna tapi Dona menjadikanya istimewa. Karena itu aku menjadi satu kesatuan dengan Dona, terikat oleh puisi.

Pada buku ini Dona berkata, "Aku merindukanmu Kak. Rindu tulisanmu". Jika kamu mencari kalimat itu, maka tak kan ditemui. Itu hanya kalimat darinya untukku lewat buku itu pada sajak...

Tiap kata yang kau ucapkan selalu berarti kapan
Tiap kata yang aku kecupkan melulu berarti akan.

-Aan Mansyur, Bahasa Baru-

Sajak itu mewakili pintanya, harapnya, ungkapannya pada aku yang sudah beku. Tidak lagi menulis puisi, berkata romantis, bermesraan dengan pena. Aku menulis sekedarnya, mempermanis postingan akun social media. Sejenak aku pilu, menengadah agar tak goyah, tetap gagah dengan penuh pasrah. Jika saja benar dia berkata, mungkin bukan 'akan' tetapi 'teruskan'. Betapa aku menjadi menggebu, ronggaku penuh rindu. Rindu manjanya, rindu tawanya, bahkan tangisnya. Yang rengekannya tak pernah usai, tentang cintanya yang telah berai. Dona...
Kiri-kanan: Dona, Bang Daia, dan Mpok Rusda memegang tropi juara umum

Aku tak terpisahkan darinya, aku mengerti keadaannya, aku tahu perasaanya, aku tahu maunya. Tapi aku tidak tahu masa akhirnya. Aku tidak melihatnya, aku tidak menyasikannya, ketika Dona di penghujung hidupnya. 28 Juni 2010, hari senin kala itu, pada pagi yang subuh kudapati kabar Dona telah berlabuh, pada takdir yang disebut kematian. Dona meninggal, dengan sepenggal kisah yang mengenang di ingatan. Tujuh tahun mengenal, tujuh tahun bersama, tentu banyak rasa. Aku gemetar kala itu, bercerita pada Puput  kawanku juga kawan Dona. Berdua aku bergenggam tangan, menyibak-nyibak informasi, memastikan itu sekedar kesalahan. Penuh harap bertanya, benarkah? sudahkah? tidakkah? lalu di mana aku akan menemuinya?

Menangis memang tidak selalu berair mata, tapi tubuh terkulai juga adalah tangisan. Aku bersama Puput berkelabu, serasa seluruh warna menjadi abu-abu. Kemudian doa-doa untuknya kami tuangkan, semoga Dona sampai di tujuannya dengan selamat. Tetapi terkadang aku berang, berdemo pada Tuhan, mempertanyakan keputusannya. Seruntuh kemudian aku sadar, itu karena aku harus bersabar. Maka padamu Dona kusampaikan...

Bukan aku tidak ikhlas, tapi menyentuhmu, memelukmu, melihat tangis tawamu, itu sudah tak mampu kulakukan kembali...
Pergilah...
Jangan hiraukan tangisku, jeritku bahkan sakitku setelah kepergianmu.
Kepergianmu tak kan menghapus semua yang pernah ada.
Ku dan yang lainnya tetap SAYANG KAMU DONA...

foto pelepasan jabatan, sekaligus foto terakhirku dengan dona di sini.

Komentar

  1. Fitriaasalucid@yahoo.co.id14 Mei 2016 pukul 16.06

    Miss you donna....
    Si ceplas ceplos apa adanya...
    Tpi baik hati... 2 kli satu kmar dgmu kelas 4 n kelas 6, dsana q bnar2 mengenalmu...selamat jlan teman baik yg selalu ceria miss you always... ��������

    BalasHapus

Posting Komentar