| Poto by Wardah non-cosmetic |
Aku bukan pecinta kopi, aku bukan orang yang pandai menikmati
kopi. Bagiku, kopi hanya penunda kantuk, sesederhana itu yang kupahami. Padahal
kopi, bagi penikmatnya adalah sensasi dan jati diri, bahkan temanku menyebutnya
seni. Apapun itu, kopi hanya diminum laki-laki dalam tradisi kampungku, sebelum
akhirnya evolusi itu mengubah pandangan baru. Kopi sudah tidak memiliki jenis
kelamin. Kopi ya kopi.
| Poto by Dwita Putri |
Hari ini aku meminumnya, bukan karena aku semalam lembur dan
ngantuk di pagi hari. Tapi karena sebuah rasa, sebuah keinginan tuk
bercengkrama mengantarkan aku ke kedai yang diberi nama Filosofi Kopi. Sebagian
orang banyak mungkin sudah tahu meski tidak pernah langsung. Menurut sejarahnya,
Filosofi Kopi itu berdiri berdasarkan kisah, ah bukan! Bukan kisah ini cerita. Sebuah
cerita yang ditulis oleh DEE Lestari menceritakan dua sahabat yang mendirikan
kedai kopi, kedai dengan segala terjemahan rasa kopinya. Sesuai pemahaman sang
barista, setiap rasa dari kopi itu adalah filosofi pribadi kopi dan
penikmatnya. Karena itu mereka gaungkan tagline ‘Temukan Dirimu Disini’. Cerita
ini bahkan sudah difilmkan di layar lebar Indonesia, bagi yang menonton mestinya
tak asing dengan Ben dan Jody. Mereka adalah tokoh sang cerita.
Tapi aku ke sana bukan karena aku hendak menemukan diriku di
balik kopinya, tapi aku ke sana mencari kenangan yang lainnya. Ini untuk
pertama kalinya aku mempunyai ke sempatan duduk santai di kedai selebriti
ditemani seorang kawan lama. Dia Puput, dengan alasan penasaran dan harapan
berjumpa sang pendiri kedai, aku dengannya berangkat ke lokasi yang berada di
jalan Melawai. Sempat plin-plan dan bingung kopi apa yang akan kami pesan, tapi
kemudian kuserahkan pemilihan rasa padanya, sebab dari ceritanya dia sudah
lebih berpengalaman dariku, tentang meneguk kopi. Yang akhirnya pilihan jatuh
pada 1 Macchiato dan 1 Piccolo serta dengan bijaknya dia memesan Churros
sebagai pendampingnya.
“Apa Churros Put?”
“Itu, bentuknya panjang tar dicocol-cocol ala amerika gitu.” Jawabnya.
Ah, ini masalah gaya. Hahaha, kuikuti saja maunya. Setelah membayar di kasir
Puput datang berbisik.
“Kak, eh gelasnya imut tau. Sekali teguk palingan habis.” Komentarnya
tentang gelas yang sudah ditunjjukkan sang barista untuk Macchiato, dan gelas
yang lebih besar sedikit untuk Piccolo.
“Ya sudah, mungkin itu kopinya kental.”
| Poto by Wardah non-cosmetic |
| Poto by orang tak dikenal |
Lalu kami mencari tempat asyik untuk mengembangkan bakat
narsis, dan ber-selfie dengan bermacam gaya sok manis. Itu mungkin juga menjadi
salah satu list tujuan kami datang ke kedai itu. Sampai akhirnya nama Puput
dipanggil, dan diberi dua gelas kopi pesanan kami. Puput cekikikan sendiri,
menertawakan tangannya yang memegang cangkir mini. Aku pun mengiringi, menertawakan
kebedohan kami. Betapa kami tak mengerti tentang budaya penikmat kopi. Sebelum mencicipi,
kami ber-pose dan memotret diri. Sampai akhirnya Puput bergaya saraya mencicipi,
bibirnya menyentuh busa kopi di gelas mininya, sehingga reflek lidahnya menjilati. Namun ada yang
aneh dari ekspresinya, dengan mimik muka terkejut sekaligus menahan sesuatu
terpancar dari lipatan dahi dan bola mata yang hendak lari.
| Poto by Wardah non-cosmetic |
“Kenapa Put?” tanyaku
“Hek… pahit buanget kak.” Ujarnya mengundang gelak tawa kami.
Lalu kucicipi piccolo buatku, wajahkupun menegang seakan ada petir menyambar
lidah. Ini pahit!
“LOh ya gimana kata masnya tadi?”
“Dia Cuma bilang ini cuma pake susu gak pake gula.”
Pikiran kita sama, jika ditambah gula tentu tak akan sepahit ini. Namun pahit ini
berasa racun yang menghantui, dan kami hanya saling menertawakan diri. Hendak bertanya
tapi gengsi, pada akhirnya kami saling menyesali dengan tawa yang hanya kami
yang mengetahui.
“Wah kalo sepahit ini, seharian kayaknya gak bakalan habis ni
kopi.” Kataku yang disambut riuh tawa di antara kami.
“Untung gelasku kecil, jadi bakal cepet habis.” Sahutnya.
| Macchiato |
Di sinilah aku menemukan filosofinya, bukan hanya pada
kopinya. Namun pada keseluruhan penyajiannya termasuk pemilihan wadahnya. Sebuah
pesan aku pahami, bahwa untuk rasa pahit janganlah memberi ruang besar, tapi
cukup yang kecil saja. Sehingga, rasa pahit itu cepat habis dan pergi
meninggalkan kita. Untuk rasa pahit yang kamu rasakan pada kenangan berilah
wadah kecil saja, meski kamu harus mencicipi setidaknya kamu tidak lama
menahan pahitnya. Dan untuk rasa manis yang kamu rasakan pada kenangan
berilah wadah cukup besar, meski kamu akan kehilangannya setidaknya kamu masih
mempunyai banyak tersisa.
| Poto by Dwita Putri |
Dengan segala ide kami modifikasi, mencoba mengubah rasa
pahit menjadi nikmat. Dari menuangkan saos untuk Churros bahkan sampai
reruntuhan gula yang menempel di sepanjang kulit luar Churros kami masukkan
pada kopi yang masing-masing di hadapan kami, kerap juga Churros kami jadikan pengaduk, berharap ada keajaiban yang disebut manis setelah adukan itu. Namun hasilnya nihil, semua masih
tak mengubah apapun selain rasa pahit itu masih berdiam di tempatnya. Kami terus
menertawakan diri, tentang lelucon ini.
Kopi pilihan kami masing-masing sudah hampir menyentuh dasar
gelas ketika kami mendengar dan Puput melihat bahwa di sisi lain Bar terdapat
gula dan cream yang disiapkan untuk pemesan kopi. Ah, ini sama seperti yang ada
di kedai kopi lainnya, gula dan cream di sediakan terpisah. Puput mulai
mengingat pengalamannya menikmati kopi di kedai kopi lain.
"Seharusnya aku ngambil gula aja yah tadi di sana, ah tau gini aku beli susu saset di Ucok tadi." celotehnya. Kembali kami
menertawakan diri, menertawakan rasa malu pada diri sendiri atas kebodohan
kami.
| Poto by Wardah non-cosmetic |
Kami memang butuh pengenalan yang baik untuk secangkir kopi,
dan hari ini aku sudah bertemu Piccolo dan Puput bertemu dengan Macchiato yang
nikmat dengan rasa pahitnya. Perkenalan yang mengesankan untuk pertemuan ini,
Piccolo dan Macchiato memberi salam pahit yang menjadi manis kami kenang kelak.
Terimakasih untuk filosofinya… bahwa rasa pahit tidak selamanya menjadi perasaan pahit, nanti
jua menjadi manis yang berupa kenangan.
Semoga petualangan kita tidak sampai di sini, Puput…
Kereeeennnn....
BalasHapusDri ngopi, berfilosofi...
Hahaha... Nama kedainya ajah filosofi kopi 🍵. Ya pasti ngopi dapet filosofinya juga. Hehehe.
HapusTinggal giliran kita nanti yah...